Pernah nggak sih kalian ngerasa kalau hidup di zaman now, khususnya buat kita yang tinggal di area Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), itu rasanya kayak lari di atas treadmill? Kita lari kenceng banget, keringat bercucuran, capeknya minta ampun, tapi rasanya kita nggak ke mana-mana. Pergi pagi buta saat matahari belum terbit, desak-desakan di KRL atau macet-macetan di jalan tol, terus pulang ke rumah saat matahari udah lama tenggelam. Sampai rumah, boro-boro mau buka kitab atau dengerin ceramah, mau cuci muka aja rasanya berat banget karena badan udah remuk redam.
Rutinitas "Kerja-Kerja-Tipes" ini seringkali bikin kita lupa sama satu hal yang paling fundamental: Nutrisi Hati.
Nah, di acara Tangerang Bersholawat yang baru aja digelar, ada satu sosok penceramah yang berhasil menampar halus (tapi kerasa banget di hati) tentang fenomena kesibukan ini. Beliau adalah Al-Habib Haidar bin Hamzah Al-Haddar. Ceramah beliau nggak cuma sekadar nasihat, tapi sebuah wake-up call buat kita yang sering menjadikan "sibuk" sebagai alasan buat jauh dari Tuhan dan Ulama.
Yuk, kita bedah bareng-bareng apa aja sih "daging" dari ceramah beliau yang super inspiratif ini.
Tangerang: Kota Sibuk yang Butuh Oase
Acara malam itu digelar di Jalan Jend. Sudirman, Tangerang. Kita tahu sendiri, Tangerang itu kota industri. Ribuan pabrik ada di sana, jutaan pekerja menggantungkan hidup di sana. Suara mesin pabrik dan klakson truk mungkin adalah musik sehari-hari warga Tangerang. Tapi malam itu, suasananya beda banget. Ribuan orang tumpah ruah, bukan buat demo kenaikan gaji, tapi buat nge-charge iman.
Habib Haidar membuka ceramahnya dengan apresiasi yang tinggi buat warga Tangerang. Beliau menyinggung soal keberadaan Majelis Raudhatus Sholihin yang dipimpin oleh Habib Bagir. Beliau menekankan satu hal yang menarik: Konsistensi.
Kata beliau, pengajian di sana itu rutin sebulan sekali, tepatnya di malam Minggu kedua. Coba deh kita renungin, sebulan itu ada sekitar 30 hari. Kalau kita diminta menyisihkan waktu cuma satu malam aja dari 30 malam yang kita punya, masa sih nggak bisa?
"Sebulan sekali, Bu, Pak. Bukan tiap hari," kata Habib Haidar dengan nada yang santai tapi tegas. Ini sindiran halus buat kita. Kita bisa nongkrong di kafe tiap weekend, kita bisa maraton nonton drama Korea berjam-jam, tapi giliran diminta duduk sejam dua jam buat ngaji sebulan sekali, alasannya bejibun.
Tiga Bencana Kalau Kita Jauh dari Ulama
Ini bagian yang bikin merinding, guys. Habib Haidar mengutip sebuah peringatan dari Nabi Muhammad SAW. Beliau mengingatkan bahwa akan datang suatu masa di mana umat Islam itu "kabur" atau menjauh dari para Ulama dan orang-orang yang paham agama (Fuqoha).
Kalau fenomena ini terjadi dan jujur aja, kita udah mulai ngerasain gejalanya sekarang Allah SWT bakal "menghukum" masyarakat tersebut dengan tiga jenis musibah. Bukan bencana alam kayak gempa atau banjir, tapi bencana kehidupan yang lebih mengerikan dampaknya. Apa aja itu?
1. Dicabutnya Keberkahan Rezeki (Yarfaullahul barokah min kasbihim)
Pernah nggak kalian ngerasa gaji naik, tapi kok duitnya cepet banget habis? Atau bisnis kelihatannya untung gede, tapi masalah datang bertubi-tubi, dari mulai ditipu orang, sakit-sakitan, sampai barang rusak. Itu tandanya rezeki kita kurang berkah.
Habib Haidar menjelaskan, "Berapa banyak anak muda kita pergi pagi pulang sore, lembur kerja, banting tulang, tapi habis buat bayar utang?"
Ini relate banget kan? Kita kerja keras bagai kuda, tapi hasilnya nol besar. Kenapa? Karena kita jauh dari sumber keberkahan, yaitu ilmu agama dan para ulama. Kita sibuk ngejar angka, tapi lupa ngejar ridho yang Punya Angka. Keberkahan itu sifatnya abstrak, nggak kelihatan di rekening, tapi kerasa di hati (tenang) dan di kehidupan (cukup).
2. Pemimpin yang Zalim (Yusallitullaha sultonan dzoliman)
Musibah kedua ini sifatnya sosial-politik. Ketika masyarakat jauh dari agama, Allah akan kirimkan pemimpin-pemimpin yang nggak punya rasa takut sama Tuhan dan nggak punya rasa sayang sama rakyat.
Habib Haidar mengingatkan, "Hati-hati, cari suami (pemimpin rumah tangga) yang bener. Cari yang sefrekuensi, yang hobi duduk di majelis ilmu."
Analogi ini menarik. Pemimpin itu nggak cuma Presiden atau Walikota, tapi juga kepala rumah tangga. Buat para ladies yang lagi cari jodoh, ini tips mahal. Kalau calon suami kamu alergi sama majelis ilmu, gimana dia mau memimpin bahtera rumah tangga dengan adil? Kalau dia jauh dari ulama, dari mana dia ambil referensi buat ngambil keputusan bijak?
3. Meninggal Tanpa Iman (Nauzubillah!)
Ini adalah musibah puncaknya. "Yang paling ngeri," kata Habib Haidar, "adalah keluar dari dunia ini tanpa membawa iman."
Bayangin, kita udah capek-capek hidup 60-70 tahun, kerja keras, bangun rumah, beli mobil, tapi pas garis finis, kita "didiskualifikasi" karena nggak bawa iman. Sia-sia semua jerih payah kita. Dan menurut Habib Haidar, salah satu penyebab suul khotimah (akhir yang buruk) adalah jauhnya seseorang dari nasihat-nasihat agama.
The Untold Story: Kisah Safrawi yang Menyentuh Hati
Untuk membuktikan bahwa dekat dengan ulama itu membawa keberkahan nyata, Habib Haidar nggak cuma ngasih teori. Beliau menceritakan sebuah true story yang baru saja terjadi. Kisah tentang seorang pria bernama Safrawi.
Safrawi ini aslinya orang Madura. Beliau merantau dan mengabdikan dirinya (berkhidmah) kepada Al-Habib Husein bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Safrawi bukan orang terkenal, bukan pejabat, bukan selebgram. Dia cuma orang biasa yang cinta mati sama ulamanya.
Apa yang terjadi? Berkat ketulusan beliau melayani dan dekat dengan anak cucu Nabi, Safrawi mendapatkan privilese yang luar biasa:
Beliau dinikahkan langsung oleh gurunya, Habib Husein.
Dan yang paling bikin iri, beliau meninggal dunia di dalam Majelis Taklim An-Nur, Cadas.
Habib Haidar menceritakan ini dengan penuh emosi. "Meninggalnya di majelis taklim, Bu!"
Ini adalah bukti nyata dari janji Allah. Siapa yang memuliakan ulama, Allah akan muliakan akhir hidupnya. Safrawi mungkin nggak punya harta triliunan, tapi beliau punya "aset" kematian yang diimpikan oleh semua miliarder muslim di dunia: Husnul Khotimah.
Habib Haidar mengutip perkataan ulama: "Man ta'allamal ilma inda ahlil baitin nabi..." (Barangsiapa yang menuntut ilmu di dekat ahlul bait Nabi dari tempat yang jauh/susah payah), dia bakal dapat dua garansi:
Rezekinya dilapangkan.
Diwafatkan dalam keadaan Husnul Khotimah.
Kesimpulan: Nggak Ada Kata Terlambat
Menutup ceramahnya, Habib Haidar memberikan suntikan semangat buat kita, terutama anak-anak muda dan bapak-bapak yang merasa "udah ketuaan" buat ngaji.
"Nggak bisa seminggu sekali? Dua minggu sekali. Nggak bisa juga? Sebulan sekali. Kalau nggak bisa sama sekali? Tenang, entar kita yang ngajiin (saat disolatin jenazah)," canda beliau yang disambut tawa jamaah, tapi ngena banget maknanya.
Jadi, teman-teman, pesan dari artikel ini simpel: Jangan nunggu luang buat ngaji, tapi luangkan waktu buat ngaji. Kesibukan dunia itu nggak akan ada habisnya sampai kita masuk liang lahat. Jangan sampai kita jadi orang yang sukses di LinkedIn tapi bangkrut di Akhirat.
Yuk, cek jadwal majelis terdekat di kotamu. Nggak harus tiap hari kok, mulailah dari yang ringan-ringan dulu, yang penting hati kita tetap terkoneksi sama jalur langit.
