Sering nggak sih kalian ngerasa kalau pengajian atau majelis taklim itu isinya cuma orang-orang "suci"? Orang-orang yang pakai baju putih bersih, wangi, yang kalau ngomong dalilnya keluar terus. Sementara kita? Kita yang masih suka skip sholat, masih suka nongkrong nggak jelas, atau punya masa lalu kelam, rasanya minder banget buat gabung. Takut dihakimi, takut dilihatin sinis, atau takut nggak relate.
Kalau kamu punya perasaan kayak gitu, berarti kamu wajib banget baca rangkuman ceramah dari Habib Bagir bin Saleh Al-Jufri di acara Tangerang Bersholawat kemarin.
Sebagai tuan rumah (Sahibul Bait) dari Majelis Raudhatus Sholihin, sambutan beliau malam itu bener-bener mengubah perspektif banyak orang tentang apa itu "dakwah". Beliau nggak bicara soal hukum fikih yang rumit, beliau bicara soal Hati dan Kemanusiaan.
Majelis Itu Bengkel, Bukan Museum Orang Suci
Habib Bagir membuka sambutannya dengan sangat hangat. Beliau menyapa semua elemen masyarakat, dari mulai pejabat (Wakil Walikota) sampai warga biasa yang duduk di aspal.
Satu poin penting yang beliau sampaikan adalah definisi majelis itu sendiri. Majelis taklim, atau tempat sholawatan, itu ibarat "Taman Surga". Nah, kalau logikanya taman, siapa aja boleh masuk kan? Nggak ada syarat harus "bersih" dulu baru boleh masuk taman. Justru di taman itulah orang-orang mencari ketenangan dan pembersihan jiwa.
Habib Bagir seolah ingin bilang: Come as you are. Datanglah apa adanya.
"Teman-teman yang masih mabuk, yang masih judi, yang masih zina... jangan pernah dihakimi," kata beliau dengan nada yang sangat empatik. "Tapi diajak, dirangkul."
Ini adalah pesan yang powerful banget di tengah maraknya fenomena "polisi moral" di media sosial yang hobi banget nge-spill dosa orang dan menghujat habis-habisan. Habib Bagir mengingatkan kita pada metode dakwah Nabi Muhammad SAW yang penuh kasih sayang. Kita membenci perbuatan dosanya (maksiatnya), tapi kita nggak boleh membenci orangnya. Karena orangnya masih punya potensi untuk berubah.
Psikologi Pendosa: "Deep Down", Mereka Ingin Baik
Habib Bagir mengajak kita menyelami isi hati mereka yang sedang tersesat. Beliau bilang, "Hati kecilnya orang yang mabuk itu tidak pengin meninggal dalam keadaan mabuk. Orang yang judi tidak ingin meninggal dalam keadaan main judi."
Coba deh kita renungkan kalimat itu. Bener banget, kan? Sebandel-bandelnya temen kita, kalau ditanya "Lu mau mati pas lagi ngapain?", pasti jawabannya "Ya pas lagi sholat lah" atau "Pas lagi tidur tenang". Nggak ada yang bercita-cita mati pas lagi sakaw atau pas lagi digerebek polisi.
Manusia itu fitrahnya (asalnya) suci dan menyukai kebaikan. Dosa itu ibarat debu yang menutupi hati. Tugas kita sebagai teman atau saudara bukan untuk menunjuk-nunjuk debunya dan teriak "Ih kotor!", tapi membantu mereka membersihkannya pelan-pelan.
"Inilah sejatinya ajaran Nabi Muhammad SAW," tegas Habib Bagir. Majelis Raudhatus Sholihin di Tangerang ini didirikan bukan sebagai menara gading buat orang saleh doang, tapi sebagai "Rumah Sakit" buat jiwa-jiwa yang sakit, dan "Tempat Istirahat" buat hati yang lelah.
Kematian: Tamu yang Nggak Pernah Kirim WhatsApp
Selain bicara soal toleransi dan merangkul sesama, Habib Bagir juga menyentuh topik yang agak dark tapi nyata: Kematian.
Beliau mengingatkan bahwa kematian itu misterius. Nggak ada notifikasi, nggak ada broadcast WA, nggak ada spoiler-nya.
"Faidza ja'a ajaluhum la yastakhiruna sa'atan wala yastaqdimun," kutip beliau. Kalau waktunya udah tiba, nggak bisa dimajuin sedetik, nggak bisa dimundurin sedetik.
"Walaupun kita di dalam benteng yang kokoh, sehat walafiat, kaya raya... waktunya mati ya mati," kata beliau.
Ini tamparan buat kita yang sering menunda tobat. "Ah, nanti aja tobatnya pas umur 40." atau "Nanti aja deh pas udah nikah baru rajin sholat." Yakin umur kita nyampe situ? Habib Bagir mengingatkan ini bukan buat nakut-nakutin, tapi biar kita prepare.
Persiapan terbaik menurut beliau adalah memperbanyak kumpul di tempat baik. Kenapa? Karena logika sederhananya: Kita biasanya meninggal saat melakukan apa yang biasa kita lakukan. Kalau kita sering di majelis, besar harapan kita meninggal atau setidaknya last moments kita dekat dengan atmosfer kebaikan.
Muliakan Orang Tua: Kunci Sukses Jalur Langit
Di akhir sambutannya, Habib Bagir melakukan ritual yang sangat menyentuh. Beliau meminta izin kepada ribuan jamaah untuk mengirimkan Al-Fatihah kepada Almarhum ayahnya, Al-Habib Sholeh bin Syekh Al-Jufri.
Beliau mengenang pesan sang ayah saat memondokkan beliau dulu. Pesannya sederhana tapi jleb:
"Enggak kepengin anaknya jadi ustaz, enggak kepengin anaknya jadi ulama, enggak kepengin anaknya jadi sarjana... Kepenginnya cuma satu: Ketika dia meninggal, ada yang mendoakan."
Ini pelajaran parenting tingkat tinggi, guys. Di zaman sekarang, banyak orang tua obsesi anaknya jadi CEO, jadi dokter, jadi influencer kaya raya. Tapi lupa mendidik anak buat jadi "Anak yang Mendoakan". Padahal saat orang tua meninggal, gelar CEO anak nggak bisa nolong di alam kubur. Yang nyampe cuma doa anak saleh.
Ajakan Terbuka buat Warga Tangerang
Menutup artikel ini, saya mau highlight undangan terbuka dari Habib Bagir. Buat kalian warga Kampung Gusti, Tangerang, dan sekitarnya, beliau mengundang kalian semua tanpa memandang latar belakang untuk hadir di Rutinan Malam Minggu Kedua setiap bulannya.
Beliau bahkan bilang, "Kalau saya banyak rezeki, tenang semuanya makan!" Wah, udah dapat ilmu, dapat ketenangan hati, dapat makan pula. Kurang apa coba?
Jadi, poin utama dari Habib Bagir adalah: Inklusivitas. Agama itu untuk semua orang. Jangan merasa terlalu kotor untuk datang ke hadapan Allah, dan jangan merasa terlalu suci sampai nggak mau duduk bareng pendosa. Kita semua sama-sama pejalan kaki menuju akhirat, bedanya cuma siapa yang bekalnya lebih banyak.
Yuk, mulai sekarang kita ubah mindset kita. Kalau ada temen yang "nakal", jangan dijauhin. Ajak ngopi, terus pelan-pelan ajak ke majelis. Siapa tahu hidayah turun lewat tangan kamu. Keren kan?
